POLITIK 

Sri Mulyani Sebut Utang Rp 396 T Dibuat saat Zulkifli Hasan Jadi Menteri, Said Didu Beri Tanggapan

beritaterkini99 – Mantan staf khusus Menteri ESDM Muhammad Said Didu menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Hal itu disampaikan Said Didu melalui akun Twitternya @saididu yang ia tulis pada Senin (20/8/2018).
Mulanya, Said Didu mentautkan sebuah pemberitaan terkait pernyataan Sri Mulyani yang menyebut utang 396 triliun rupiah yang dibuat saat Zulkifli Hasan menjadi Menteri Kehutanan.
Lantas, Sadi Didu menanggapi bahwa yang memutuskan soal utang adalah menteri keuangan.
Menurut Sadi Didu, selama ini, Zulkifli Hasan tidak pernah menjadi menteri keuangan.
“Setahu saya yg memutuskan utang adalah Menteri Keuangan dan selama ini pak @ZUL_Hasan blm pernah jadi Menkeu,” tulisnya.
Sebelumnya, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan pada sidang tahunan MPR RI di Gedung Parlemen, 16 Agustus 2018 berpidato soal rasio utang Indonesia yang dinilai tidak aman.
Lantas, hal tersebut ditanggapi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pembayaran pokok utang pemerintah untuk tahun 2018 sebagian besarnya dari utang yang dibuat sebelum periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau sebelum 2015.
Jika menurut masa kepemimpinan Presiden RI, maka yang menjabat sebelum Jokowi adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Sri Mulyani, Zulkifli merupakan bagian dari kabinet saat itu sehingga seharusnya tahu bahwa utang yang jatuh tempo tahun ini berasal dari masa jabatannya dahulu.
Adapun 31,5 persen dari pembayaran pokok utang tahun ini turut dipakai sebagai instrumen Surat Perbendaharaan Negara (SPN) atau SPN Syariah dengan tenor di bawah 1 tahun.
“Itu merupakan instrumen untuk mengelola arus kas. Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?” tutur Sri Mulyani yang dilansir dari beritaterkini99.com.
Sri Mulyani justru mempertanyakan, kenapa Zulkifli yang saat itu ada di kabinet tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran antara perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan.
Padahal, rasionya lebih tinggi dari yang sekarang. “Jadi, ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?” tanya Sri Mulyani.
Tak hanya itu, melalui akun Facebook resmi Sri Mulyani Indarwati, Senin (20/8/2018) pagi, ia menuliskan tanggapan terkait pidato Zulkifli Hasan.
Berikut catatan Sri Mulyani yang ditulis secara lengkap melalui akun Facebooknya.
“Tanggapan atas Pernyataan Ketua MPR “Pembayaran Pokok Utang Pemerintah Tidak Wajar”.
Ketua MPR dalam pidato sidang tahunan MPR 16 Agustus 2018 menyampaikan bahwa besar pembayaran pokok utang pemerintah yang jatuh tempo tahun 2018 sebesar Rp 400 triliun yang 7 kali lebih besar dari Dana Desa dan 6 kali lebih besar dari anggaran kesehatan adalah tidak wajar.
Pernyataan tersebut selain bermuatan politis, juga menyesatkan. Berikut penjelasannya:
1. Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (sebelum Presiden Jokowi). Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu. Sementara itu, 31,5 persen pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun yang merupakan instrumen untuk mengelola arus kas (cash management). Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?
2. Karena Ketua MPR menggunakan perbandingan, mari kita bandingkan jumlah pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan dan anggaran Dana Desa.
Jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 adalah Rp 117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp 25,6 triliun. Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat. Pada tahun 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp 396 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp 107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali.
Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4 persen. Bahkan tahun 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp 122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran tahun 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7 persen.
Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana.
Mengapa pada saat Ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang? Jadi ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?
Kenaikan anggaran kesehatan hingga lebih 4 kali lipat dari 2009 ke 2018 menunjukkan pemerintah Presiden Jokowi sangat memperhatikan dan memprioritaskan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia.
3. Ketua MPR juga membandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa. Karena dana desa baru dimulai tahun 2015, jadi sebaiknya kita bandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa tahun 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat.
Pada tahun 2018 rasio menurun 39,3 persen menjadi 6,6 kali, bahkan di tahun 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali.
Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang.
Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR.
Jadi arahnya adalah menurun tajam, bukankah ini arah perbaikan? Mengapa membuat pernyataan ke rakyat di mimbar terhormat tanpa memberikan konteks yang benar? Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar.
4. Pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati (pruden) dan terukur (akuntabel). Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3 persen per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara.
Defisit APBN terus dijaga dari 2,59 persen per PDB tahun 2015, menjadi 2,49 persen tahun 2016, dan 2,51 persen tahun 2017.
Dan tahun 2018 diperkirakan 2,12 persen, serta tahun 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR akan menurun menjadi 1,84 persen.
Ini bukti tak terbantahkan bahwa pemerintah berhati-hati dan terus menjaga risiko keuangan negara secara profesional dan kredibel.
Ini karena yang kami pertaruhkan adalah perekonomian dan kesejahteraan serta keselamatan rakyat Indonesia.
5. Defisit keseimbangan primer juga diupayakan menurun dan menuju ke arah surplus. Tahun 2015 defisit keseimbangan primer Rp 142,5 triliun, menurun menjadi Rp 129,3 triliun (2017) dan tahun 2018 menurun lagi menjadi defisit Rp 64,8 triliun (outlook APBN 2018). Tahun 2019 direncanakan defisit keseimbangan primer menurun lagi menjadi hanya Rp 21,74 triliun.
Sekali lagi menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak. Apakah ini bukti ketidak-wajaran atau justru malah makin wajar dan hati-hati?
6. Selama tahun 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif, artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak.
Bila tahun 2015 pertumbuhan pembiayaan utang adalah 49 persen (karena pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya), tahun 2018 pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7 persen! Ini karena pemerintah bersungguh-sungguh untuk terus meningkatkan kemampuan APBN yang mandiri. Ini juga bukti lain bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola APBN dan kebijakan utang.
Hasilnya? Pemerintah mendapat perbaikan rating menjadi “investment grade” dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016.
Jadi siapa yang lebih berkompeten menilai kebijakan fiskal dan utang pemerintah wajar atau tidak?
7. APBN adalah instrumen untuk mencapai cita-cita bernegara untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta makin mandiri.
Komitmen dan kredibilitas pengelolan APBN ini sudah teruji oleh rekam jejak pemerintah selama ini. Mari cerdaskan rakyat dengan politik yang berbasis informasi yang benar dan akurat.”

Related posts