Lifestyle 

Apakah Menangis Memang Hanya untuk Perempuan?

beritaterkini99-  “Kalau sering menangis bukan anak Mamah.”

“Masak anak laki-laki cengeng?”

Sebagai laki-laki, kata-kata ini sudah sering kita dengar. Sedari kecil, banyak anak laki-laki dididik untuk menghindari emosi. Kita terbiasa dididik untuk ‘membenci emosi’. Emosi dijadikan sesuatu yang memalukan dan menunjukan kelemahan. Emosi hanya untuk perempuan. Menangis adalah perbuatan orang lemah. Di era ketika banyak orang ingin hidup lebih bebas dari kepalsuan dengan mengedepankan authenticity dan vulnerability, laki-laki di Indonesia masih terkena stigma negatif kalau ingin menangis atau sekadar ingin bicara dari hati ke hati.

Laki-laki Juga Manusia Biasa

Laki-laki itu makhluk emosional, sama seperti perempuan. Bagi saya, tidak ada istilah perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki. Hal ini serupa dengan fakta bahwa perempuan itu makhluk seksual, sama seperti laki-laki. Perempuan juga bisa bercanda mesum seperti halnya laki-laki. Pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan seperti itu hanyalah konsepsi masyarakat yang mengingikan laki-laki harus kuat dan menuntut perempuan agar lebih sopan (tidak nafsuan). Maka dari itu, untuk urusan seksual, perempuan lebih banyak menahan hasratnya. Untuk urusan emosi, laki-laki hanya lebih ahli memakai topeng dan menyembunyikan emosinya. Atau lebih parah lagi, laki-laki sering tidak mengenal emosinya. Akhirnya, kita hanya bisa marah-marah saat sedang sedih atau kecewa karena hanya itu cara yang kita tahu.

Secara global, perempuan memang lebih rentan terhadap berbagai turbulensi emosi. Akan tetapi, hal ini juga disebabkan oleh perempuan yang memiliki fluktuasi hormon lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan juga lebih ruminative atau sering memikirkan sesuatu berulang-ulang. Terlebih lagi, perempuan zaman sekarang memiliki peran ganda: pekerjaan kantoran dan pekerjaan domestik. Perempuan punya peran ganda karena laki-laki zaman sekarang pun masih banyak yang mengadopsi pola patriarki. Perempuan, dengan beban kerja kantoran yang dimiliki, masih harus urus sumur, dapur, dan kasur. Laki-laki tak mau mengurusi urusan rumah tangga dan meninggalkan semua beban pada perempuan. Alasan terakhirnya, perempuan lebih bisa terbuka akan permasalahan emosi dan mencari pertolongan. Maka dari itu, data perempuan yang mengalami gangguan jiwa tercatat lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Kalau laki-laki? Biasanya laki-laki hanya menyalurkan emosinya ke olahraga atau mengepul asap rokok di pojokan kampus/kantor. Maka dari itu, saat laki-laki sedang stress, jumlah rokok yang dihisap biasanya lebih banyak. Kalau lebih tidak terkendalikan lagi, laki-laki bisa menjadi abusive alias pelaku KDRT karena mereka memiliki masalah kejiwaan yang tak bisa terekspresikan. Laki-laki hanya bisa menyalurkan emosinya dalam bentuk marah-marah ke sosok-sosok terlemah di sekitarnya: anak dan perempuan.

 

Related posts